Pilkades, Harapan Baru dan Literasi Politik Baru

- Kamis, 11 November 2021 | 09:37 WIB
Pilkades, Harapan Baru dan Literasi Politik Baru 2
Pilkades, Harapan Baru dan Literasi Politik Baru 2

Tinggal hitungan hari. Kota Keris akan menghelat pesta besar-besaran yaitu pelaksanaan pilkades serentak tepatnya Hari Kamis tanggal 25 November 2021

Kabar ini sangat menggembirakan. Bagaimana tidak. Coba bayangkan. Di kota paling timur Pulau Madura ini ada 84 desa yang tersebar di 27 kecamatan baik di wilayah daratan maupun kepulauan akan menggelar Pilkades yang sebelumnya sempat tertunda karena pandemi covid 2019. Sementara ketegangan yang akan timbul dari momen Pilkades ini yakni akan ada pembelahan dan pengelompokan masyarakat yang serius karena faktor preferensi politik terhadap masing-masing kandidat.

Kita menyaksikan bersama bahwa selama penundaan pilkades masyarakat ada pada satu garis komando, yaitu bergerak bersatu melawan pandemi COVID-19 demi keselamatan bersama.

Setelah Bapak Bupati menetapkan waktu pelaksanaan Pilkades, suasana kehidupan masyarakat otomatis akan berubah seiring tren politik yang akan terjadi di desa. Meskipun fenomena politik di desa tak semenggema pergantian pemimpin level nasional, namun alarm politik di desa tak kalah nyaringnya, karena akan muncul juga hiruk pikuk kampanye dan pertarungan berupa ide, gagasan, dan cara pandang yang sangat tajam baik lewat sosmed atau di ranah sosial nyata. Namun apapun yang terjadi kita tetap berharap kerukunan antar elemen masyarakat tetap terjaga sebagaimana kokohnya bersatu melawan COVID-19.

Kita ingin momentum Pilkades menjadi penyaluran suara rakyat dalam menentukan pemimpinnya sekaligus sebagai media transformasi mereka untuk membangun kedewasaan dalam berdemokrasi guna memahami arti sesungguhnya demokrasi.

Kini oleh sebagian masyarakat yang notabene awam, demokrasi hanya dimaknai sebatas memilih pemimpin setiap enam tahun sekali. Tak lebih dari itu atau hanya dianggap sebagai pesta pencoblosan belaka.

Bukti demikian terlihat pasca pemilihan dimana masyarakat tak mau peduli dan bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah dimandatkan kepada kades yang telah mereka pilih. Misalnya, masyarakat masih enggan terlibat langsung dalam memberikan aspirasi maupun argumentasi, bahkan kritik tentang pembangunan desa yang dirasakan kurang produktif dan berkeadilan. Baik berbasis sarana prasarana berupa aspal, maupun yang berbasis pengembangan potensi alam lokal desa.

Entah apa penyebabnya. Yang jelas saat ini masyarakat masih terlihat canggung untuk mendialogkan semua persoalan desa dengan kepala desa termasuk dengan perangkatnya. Sehingga prospek dan konsep pembangunan desa condong mengalami disorientasi bahkan terjadi misplaning. Akibatnya pola pembangunan tidak matching dengan postur geografis dan sektor potensi alam yang melimpah di desa.

Problem ini perlu disadari bersama sebagai koreksi total atas pembangunan yang dilakukan pemerintah desa selama ini dengan indikator bahwa massifnya proyek pembangunan di desa masih belum beriringan dengan naiknya taraf kesejahteraan dan kemandirian ekonomi masyarakat yang mestinya menjadi penopang kemajuan.

Pertanyaan kita sekarang adalah mengapa partisipasi masyarakat sangat rendah untuk ikut andil dalam kegiatan perancangan pembangunan desa. Padahal idealnya masyarakat sebagai subjek pembangunan? Atau mungkin selama ini mindset kepala desa masih memposisikan masyarakat sebagai objek pembangunan, sehingga kelihatannya keduanya sama-sama menutup diri karena ingin berjalan sendiri-sendiri?

Pertanyaan di atas penting dimunculkan sebagai refleksi literasi atas perjalanan desa dari masa ke masa melalui transisi kepemimpinan, karena agaimanapun dalam membangun desa yang maju butuh sinergi dan gotong royong semua komponen masyarakat.

Tampak sejauh ini masyarakat masih berjarak jauh dengan Desa. Tapi bagaimanapun kenyataanya sepertinya masih dapat dimaklumi. Justru yang parah ketika masyarakat harus berjarak jauh dengan potensi alamnya sendiri yang seyogyanya dapat digarap maksimal oleh pemerintah desa setempat. Sementara misalnya tidak terjadi.

Idealnya, kita tidak ingin di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah justru desa tidak bisa berbuat banyak. Misalnya, ada desa yang potensi alamnya dominan di bidang pertanian seharusnya prioritas pembangunan yang harus digencarkan berfokus pada sektor pertanian agar output pembangunan itu dapat memberi dampak nyata sehingga masyarakat optimis dengan profesi taninya.

Pilkades harus menjadi awal tumbuhnya optimisme masyarakat dalam manatap masa depan yang lebih cerah dan saatnya pula untuk mencari pemimpin yang bisa menciptakan segela harapan yang selama ini masih menggantung.

Ke depan yang kita idamkan adalah penyelenggaraan pemerintahan desa yang berkualitas dan bergerak cepat dalam merespon segela perubahan yang terjadi untuk menuju desa yang lebih maju, bahkan kita berharap desa ke depan mampu bertransfomasi menjadi desa digital.

Langkah ini penting dilakukan sebagai cita-cita bersama agar desa tidak lagi monoton, atau hanya menonton melihat perkembangan yang begitu pesat. Ke depan desa harus bergerak cepat dengan lompatan-lompatan program yang konkrit guna menjembatani peluang dan tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini.

Pilkades sebagai jalan untuk menghadirkan kepala desa yang banyak memahami persoalan desa. Pada kesempatan ini kepekaan masyarakat harus tumbuh, yaitu peka berpikir tentang siapa yang harus dipilih dan bagaimana programnya dan bagaimana pula relevansinya dengan persoalan desa selama enam tahun ke depan, maka dengan pertimbangan pada program pasti pilihan yang dibangun bersama akan menjadi pilihan yang rasional dan akseptabel.

Meski kita jujur bahwa pertimbangan memilih atas dasar program sepertinya masih terabaikan bahkan nyaris tak terpikirkan. Pada hal itu penting dilakukan sebagai langkah awal menuju kehidupan yang bermartabat. Saat ini masyarakat kita masih mudah terjebak dengan politik pragmatis dan tindakan provokasi orang lain yang tidak rasional. Pada hal kalau kita mau mencari tahu motif di antara masing-masing pendukung calon sebenarnya serba sarat kepentingan atau hanya ikut-ikutan yang tidak didasarkan pada kajian yang mendalam.

Parahnya lagi ketika pilihan pada satu calon sudah ajeg akhirnya harus berubah karena dipaksa dan dikompromi oleh individu atau kelompok tertentu yang berbeda pilihan, maka fakta semacam ini menjadi penyebab hilangnya semangat demokrasi yang semestinya memberi ruang kebebasan pada setiap warga masyarakat dalam menetukan pilihan

Belum lagi kita sering diberhadapkan dengan sebuah kasus klasik yang kerap ditemui dalam suatu masyarakat ketika sudah tiba musim
pilkades. Misalnya, masih kental konflik antar keluarga. Antara anak dan orang tua. Mertua dengan menantu. tak jarang juga antara guru dan murid, bahkan dalam konteks rumah tangga pun suami isteri bercerai hanya gara-gara pilihan berbeda.

Fenomena genting semacam ini hampir terjadi disetiap musim perhelatan pilkades. masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari semua elemen masyarakat. Terutama yang berkomitmen untuk membangun masyarakat yang cerdas dalam memahami demokrasi. Misalnya. Memberi edukasi, sosialisasi, dan membangun budaya literasi hingga masyarakat punya wawasan memadai tentang konsep demokrasi dan pentingnya membangun toleransi dengan menghilangkan pola pikir alergi terhadap ragam perbedaan

Gencarnya literasi demokrasi yang massif terhadap masyarakat pada gilirannya akan mencerdaskan dan menghadirkan rasionalitas berpikir yang memadai, sehingga masyarakat menjadi pelopor penyelenggaraan pemerintahan desa dengan memberikan hak suaranya secara bebas dan bertanggung jawab, dan dengan literasi yang memadai pula masyarakat akan sanggup menyikapi perbedaan pilihan secara bijak karena perbedaan sejatinya menjadi pengayaan pikiran dan autokritik dalam mencapai kemajuan hidup bersama yang puncaknya dapat memperkuat sistem check and balance dalam membangun desa

Spirit Pilkades serentak di tahun ini harus menjadi pembelajaran politik yang mencerahkan bagi masyarakat luas dalam konteks memahami perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dan menyadari seutuhnya bahwa perbedaan pilihan sebagai konsekuensi logis dari sebuah demokrasi, dan keabsahannya dijamin oleh UU.

Masyarakat sangat rugi ketika berbeda pilihan harus bermusuhan. Logika kasarnya begini. Mengapa harus bermusuhan karena sebuah perbedaan? Bukannya yang rugi kita sendiri, sebab belum tentu kita mendapat apa-apa dari pertengkaran itu, dan belum tentu pula kita mendapat sesuatu dari orang yang dibela. Maka yang diharapkan kita tetaplah berpikir rasional dengan mengutamakan kerukunan.dan kedamaian.

Selanjutnya. Pilkades sebagai proses sistemik. Ini mengartikan bahwa pilkades diharapkan tidak hanya menjadi acara tentang pergantian kepala desa. Tetapi jauh dari itu pilkades harus menjadi proses transformatif untuk membuka nalar kritis masyarakat dalam menyampaikan pandangan atau penilaian atas integritas, kapabilitas, dan rekam jejak para kandidat, karena itu semua akan menjadi pondasi dalam penyelenggaran pemerintahan desa yang bersih dari korupsi. Pada proses itu pula diharapkan tidak ada ruang bagi aktor dan perilaku politik hegemoni dengan melakukan tindakan refresif yang membodohkan dan mematikan aspirasi cerdas masyarakat dalam menentukan figur sesuai dengan akal sehatnya

Tujuan kita agar kepala desa yang diharapkan bersama bisa tercapai. Yakni figur yang memiliki kemapuan generalis yang peka terhadap potensi alam desanya dan potensi masyarakatnya, dan peka pula terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan dan ragam persoalan melimpah di desa

Figur pemimpin yang generalis akan mampu melakukan banyak terobosan pembangunan strategis menuju perubahan yang lebih pasti untuk kemajuan desanya, karena ia sangat sadar bahwa mandat yang diberikan pada dirinya adalah tanggung jawab moral yang harus diperjuangkan dengan semestinya. Bukan hanya tanggung jawab pada mayarakat yang dipimpinnya, tapi semuanya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT

Masyarakat saatnya berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pilkades serentak di tahun 2021 ini dengan mengencarkan kampanya anti golput agar pilkades benar-benar berlangsung damai, menggembirakan serta bebas dari intrik yang menyeramkan, agar Pilkades menjadi bagian dari proses nyata menuju kesejahteraan masyarakat di masa depan, kemudian kita harus bisa mematahkan sebuah anggapan yang mengatakan bahwa pilkades hanya menjadi agenda seremonial yang dipamerkan setiap enam tahun sekali yang penuh dengan intrik politisasi yang dimainkan oleh elit-elit tertentu. Begitu juga masyarakat tidak boleh acuh tak acuh terhadap pembangunan yang dilakukan kepala desanya selama memimpin agar fakta suram masa sebelumnya bisa menjadi catatan bermakna bagi kepala desa yang terpilih untuk lebih siap menjadi pelopor dan aktor kemajuan desa yang sesungguhnya

Di tengah situasi yang sedang memanas kali ini masyarakat diharapkan tenang dan tetap berpikir jernih agar tidak gampang diracuni "Politik uang" dengan demikian maka jebakan pikiran pragmatis bisa dimitigasi dengan baik sehingga terhindar dari berpikir spekulatif. Misalnya. Siapa yang memberi uang dia yang akan dipilih, dan siapa yang memberi lebih besar dia yang akan dipilih. Atau berpikir. Kalau tidak sekarang menikmati uang sogok kapan lagi, karena siapa yang menang nanti tidak akan mengubah nasib juga. Pola pikir seperti inilah diharapkan tidak terjadi agar demokrasi kita tetap sehat dan bisa melahirkan pemimpin yang berpikir sehat.

Kini tidak sedikit yang beranggapan bahwa faktor penentu kemenangan dalam pemilihan adalah Uang. dianggap aneh oleh masyakarat jika para kandidat tidak mencairkan amplop. Apalagi di tengah terpaan pandemi COVID-19. Jelas sekali keperluan masyarakat mudah terdeteksi oleh para kandidat, dan celah ini tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh kandidat tertentu untuk melancarkan gerakan politik uang

Asumsi kita. Jika Pilkades di tahun ini diwarnai dengan praktik sogok menyogok, atau apapun mereknya yang tidak dibenarkan oleh UU. Hasilnya akan melahirkan pemimpin yang koruptif, dan cita-cita bersama untuk menuju desa maju yang bermartabat hanya akan menjadi isapan jempol

Ayo masyarakat pilih calon kepala desa yang visioner yang jelas visi dan programnya dan berkomitmen total untuk tidak korupsi. Siapapun yang menang hendaknya memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan kepada warganya guna menjaga semangat persatuan dalam membangun desa, dan tidak boleh lupa kepala desa harus bisa merangkul segenap warganya baik yang mendukung maupun yang menjadi rival, karena kepala desa yang diharapkan kita bukan kepala desa yang diskriminatif tapi kepala desa yang menghadirkan keadilan yang substantif kepada semua warganya.

Selamat berpilkades dan tetap taat protkes

-


Penulis, Pemuda Desa Juruan Daya dan pecinta demokrasi

Seluruh isi dalam artikel ini sepenuhnya adalah milik dan tanggung jawab penulis.

Editor: Redaksi

Terkini

Orang Madura Membingkai Isra Mikraj

Minggu, 19 Februari 2023 | 16:42 WIB

Catatan Kecil Hari Anti Korupsi Se- Dunia

Senin, 12 Desember 2022 | 10:01 WIB

DEWAN JURI YANG KURANG RAMAH DAN TINGGI DIRI (?)

Kamis, 1 Desember 2022 | 10:30 WIB

Serban Kepongahan

Rabu, 9 Maret 2022 | 11:38 WIB

Tahun Baru, Mindset Baru

Jumat, 31 Desember 2021 | 20:24 WIB

Pilkades, Harapan Baru dan Literasi Politik Baru

Kamis, 11 November 2021 | 09:37 WIB

MUNAS X PPNI di Bali, Penentu Arah Profesi Perawat

Sabtu, 9 Oktober 2021 | 08:17 WIB

Marwah DPRD Sumenep Jarang Diurus (?)

Selasa, 7 September 2021 | 21:45 WIB

Menimbang Kebijakan PJJ Kemenag dan Disdik Sumenep

Minggu, 10 Januari 2021 | 15:49 WIB

Sambut 2021, Simpul Tahun Cita dan Kerja Nyata

Rabu, 30 Desember 2020 | 13:26 WIB

Ramadan dan Transformasi Pendidikan Karakter

Minggu, 17 Mei 2020 | 20:50 WIB

Menimbang Mencetak Uang

Rabu, 29 April 2020 | 13:57 WIB

Analisa Positif Covid-19 di Sumenep

Sabtu, 25 April 2020 | 19:18 WIB

Yang Mudik dan Pulkam

Jumat, 24 April 2020 | 13:16 WIB
X